Pengertian Akhlak, Macam-Macam Akhlak dan Dalil Tentang Akhlak
Bersama Pemateri :
Syaikh `Abdurrazzaq bin `Abdil Muhsin Al-Badr
Pengertian Akhlak, Macam-Macam Akhlak dan Dalil Tentang Akhlak adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam dengan pembahasan Kitab الدروس المهمة لعامة الأمة (pelajaran-pelajaran penting untuk segenap umat). Pembahasan ini disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr pada 7 Ramadhan 1440 H / 12 Mei 2019 M.
Download kajian sebelumnya: Hal-Hal Yang Membatalkan Wudhu
Status Program Kajian Tentang Pelajaran Penting untuk Umat
Status program Kajian Tentang Bagaimana Menjadi Pembuka Pintu Kebaikan: AKTIF. Mari simak program kajian ilmiah ini di Radio Rodja 756AM dan Rodja TV setiap ahad & senin pukul 17.00 - 18.00 WIB.
Kajian Ilmiah Tentang Pengertian Akhlak, Macam-Macam Akhlak dan Dalil Tentang Akhlak
Berakhlak dengan akhlak yang disyariatkan dalam Islam diantaranya; jujur, amanah, bertanggung jawab, menjaga kesucian, malu, berani, darmawan, menepati janji, menjauhi semua yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, berbuat baik kepada tetangga, membantu orang yang membutuhkan sesuai kemampuan, dan selainnya dari akhlak-akhlak yang tertera dalam Al-Qur’an dan sunnah yang dijelaskan tentang disyariatkannya akhlak-akhlak tersebut.
Akhlak yang baik adalah tanda kebahagiaan seseorang di dunia dan di akhirat. Tidaklah kebaikan-kebaikan datang atau didapatkan di dunia dan di akhirat kecuali dengan berakhlak dengan akhlak yang baik. Dan tidaklah keburukan-keburukan ditolak kecuali dengan cara berakhlak dengan akhlak yang baik.
Maka kedudukan akhlak dalam agama ini sangat tinggi sekali. Bahkan Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam surga, beliau mengatakan:
تَقْوى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ
“Bertaqwa kepada Allah dan berakhlak dengan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Juga beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ مِنْ أَحِبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحْسَنُكُمْ أَخْلَاقًا
“Sesungguhnya di antara orang-orang yang paling aku cintai dan paling dekat tempat duduknya pada hari kiamat denganku yaitu orang-orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi)
Juga Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad, Bukhari)
Juga ada banyak sekali hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan akhlak yang baik, juga tingginya kedudukan akhlak dalam agama ini, serta baiknya buah yang akan didapatkan oleh orang yang berakhlak dengan akhlak yang baik ketika di dunia dan di akhirat.
Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mensifati NabiNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam Al-Qur’anul Karim dengan akhlak yang sempurna, akhlak yang agung dan akhlak yang baik. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ ﴿٤﴾
“Dan sesungguhnya engkau berada di atas akhlak yang agung.” (QS. Al-Qalam[68]: 4)
Dan dahulu Nabi kita ‘Alaihish Shalatu was Salam adalah manusia yang paling baik akhlaknya, paling sempurna adabnya, paling baik pergaulannya, paling indah muamalahnya, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada beliau. Beliau adalah contoh bagi seluruh hamba dalam segala akhlak yang baik, segala adab yang indah dan segala muamalah yang baik. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّـهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّـهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّـهَ كَثِيرًا ﴿٢١﴾
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah bagi kalian contoh yang baik bagi orang yang mengharap pertemuan dengan Allah dan hari akhir dan mengingat Allah dengan dzikir yang banyak.” (QS. Al-Ahzab[33]: 21)
Bab akhlak dalam syariat Islam adalah bab yang sangat luas, tidak khusus dalam pergaulan sesama makhluk. Akan tetapi akhlak dan adab juga antara seorang hamba dan Tuhannya. Juga dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan akhlak juga di antara sesama manusia.
Maka dari itu seluruh orang yang beribadah menyembah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, berarti dia adalah orang yang paling buruk akhlaknya. Dimana akhlak orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan dia rizki, Allah karuniakan kepadanya begitu banyak nikmat, kemudian dia berdo’a kepada selain Allah, memalingkan ibadah kepada selain Allah. Maka orang musyrik adalah orang yang paling buruk akhlaknya, karena kesyirikan adalah bagian dari akhlak yang buruk. Bahkan kesyirikan adalah seburuk-buruknya akhlak. Maka seseorang tidak boleh tertipu dengan pergaulan baik yang dilakukan oleh sebagian orang kafir. Karena hal itu mereka lakukan demi maslahat dunia dan tujuan-tujuan dunia. Mereka sama sekali tidak mengharapkan sesuatu di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pahala pada hari pertemuan denganNya.
Akhlak yang bermanfaat adalah akhlak yang dilakukan seseorang dengan mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala agar ia mendapatkan surga dan derajat yang tinggi di akhirat nanti. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّـهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا ﴿٩﴾
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insan[76]: 9)
Bukan seorang yang berakhlak tapi mengharapkan balasan di dunia. Oleh karena itu Nabi kita ‘Alaihish Shalatu was Salam pernah bersabda:
لَيْسَ الوَاصِلُ بِالمُكَافِئِ
“Bukanlah orang yang menyambung silaturahmi jika sekedar membalas orang lain.” (HR. Bukhari)
Adapun orang-orang yang bergaul dengan manusia dengan akhlak yang baik akan tetapi dengan tujuan dunia, dia tidak akan mendapatkan dari dunianya kecuali apa yang telah dituliskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya. Dan dia tidak akan mendapatkan balasan di akhirat. Bahkan dia akan menemukan hal yang buruk disebabkan dia hanya menginginkan balasan dari orang lain. Karena diantara manusia banyak yang tidak mampu untuk membalas kebaikan bahkan tidak mampu membalas kebaikan dengan kebaikan. Diantara mereka ada yang akhlaknya sangat buruk. Apabila seseorang berbuat baik kepadanya, sebaliknya dia berbuat buruk kepada orang tersebut. Seorang yang baik adalah orang yang tidak menunggu balasan dari manusia jika dia berbuat baik kepada mereka. Akan tapi dia hanya mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Oleh karena itu hadits-hadits yang menjelaskan atau menganjurkan untuk berakhlak dengan akhlak yang baik menyebutkan balasan akhlak tersebut akan didapatkan pada hari kiamat. Yaitu dengan dimasukkannya ke dalam surga atau mendapatkan derajat yang tinggi di akhirat nanti. Dan semakin baik akhlak seseorang karena ia mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka akan semakin besar balasan dan pahala yang akan dia dapatkan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka apabila seorang berakhlak tidak mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tetapi hanya mengharapkan tujuan-tujuan dunia, amalan tersebut tidak termasuk dalam amal shalih yang dia lakukan. Karena diantara syarat diterimanya suatu amalan adalah seorang mengharapkan balasan dan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Intinya, bahwasanya akhlak mempunyai kedudukan yang sangat tinggi di agama kita dan Syaikh bin Baz Rahimahullah dalam kitab ini hanya ini menyebutkan sebagian dari akhlak-akhlak yang baik yang sebaiknya atau seharusnya seorang Muslim bersifat dengan akhlak-akhlak tersebut.
Berkata Syaikh bin Baz Rahimahullah bahwa berakhlak dengan akhlak yang disyariatkan dalam Islam. Kemudian beliau mulai menyebutkan beberapa akhlak-akhlak yang disyariatkan dalam Islam, tapi beliau tidak membatasi akhlak-akhlak ini dari apa yang beliau Sebutkan saja.
Jujur
Beliau mengatakan bahwa diantaranya adalah jujur. Jujur adalah salah satu akhlak yang paling agung dalam Islam. Dan disebutkan dalam banyak ayat keutamaan orang-orang yang jujur. Diantaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّـهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ ﴿١١٩﴾
“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan jadilah kalian bersama dengan orang-orang yang jujur.” (QS. At-Taubah[9]: 119)
Juga dalam hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ، وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ، حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا
“Hendaklah kalian selalu jujur karena kejujuran menghantarkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan kepada surga dan senantiasa seorang berjujur dan berusaha untuk jujur sampai ditulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur.”
Dan kejujuran yang paling tinggi kedudukannya adalah kejujuran dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّـهَ عَلَيْهِ
“Di antara orang-orang beriman ada orang-orang yang mereka jujur melaksanakan apa yang mereka janjikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (QS. Al-Ahzab[33]: 23)
Dia jujur kepada Allah dalam tauhidnya, dalam imannya, dalam ibadahnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Nabi kita ‘Alaihish Shalatu was Salam bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ
“Tidaklah seorang menyaksikan bahwasanya tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah jujur dari hatinya kecuali Allah mengharamkan atasnya neraka.” (HR. Bukhari)
Maka laa ilaha illallah yang merupakan cabang keimanan yang paling tinggi dan rukun Islam yang paling agung tidak akan diterima kecuali dengan kejujuran. Dalam hadits disebutkan:
صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ
“Jujur dari hatinya.”
Yang dimaksud dengan jujur yaitu sesuai apa yang diucapkan dengan dengan apa yang ada di dalam hati. Ketika seseorang mengucapkan dengan lisannya, maka hal tersebut sesuai dengan apa yang ada di hatinya. Adapun jika berbeda antara yang dia tampakkan dan dia sembunyikan, maka ini adalah kemunafikan. Dan kemunafikan bisa jadi kemunafikan yang besar atau juga kemunafikan yang kecil tergantung dengan perbedaan antara yang dia tampakkan dan dia sembunyikan. Jika dia menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekufuran, maka ia adalah kemunafikan yang besar. Namun apabila dia menampakan bahwasanya ia menepati janji akan tetapi ia menyembunyikan kebohongan atau menyembunyikan khianat, maka ini termasuk nifaq asghar. Nabi kita ‘Alaihish Shalatu was Salam pernah bersabda:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda-tanda kemunafikan ada tiga; jika ia berbicara ia berdusta, jika ia berjanji ia mengingkari dan apabila dia diberi amanah ia berkhianat.” (HR. Bukhari, Muslim)
Jika kebohongan adalah tanda-tanda kemunafikan, maka kejujuran adalah tanda-tanda keimanan.
Maka wajib bagi setiap Muslim untuk menjadi orang yang jujur dan hendaklah kejujuran itu menjadi sifat yang selalu berada pada dirinya agar ia mendapatkan janji Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Allah janjikan kepada hamba-hambaNya yang selalu berbuat jujur.
Amanah
Berkata Syaikh bin Baz Rahimahullah bahwa diantara akhlak yang disyariatkan dalam Islam yaitu amanah -bertanggung jawab-. Amanah mempunyai kedudukan yang sangat tinggi di agama kita. Allah ‘Azza wa Jalla menawarkan amanah tersebut kepada langit dan bumi. Maka semuanya merasa khawatir untuk memikulnya dikarenakan besarnya perkara itu. Allah berfirman:
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا ﴿٧٢﴾
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,” (QS. Al-Ahzab[33]: 73)
Makna dari amanah secara umum adalah mencakup seluruh perkara agama. Karena Allah ‘Azza wa Jalla telah menciptakan hamba-hambaNya agar mereka beribadah kepadaNya dan Allah menciptakan mereka agar mereka taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan amanah ini wajib dilakukan oleh setiap manusia, wajib untuk dijaga, wajib untuk diperhatikan. Dan manusia terbagi menjadi tiga bagian dalam memikul amanah ini. Allah ‘Azza wa Jalla menjelaskan dalam lanjutan ayat tadi:
لِّيُعَذِّبَ اللَّـهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوبَ اللَّـهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ۗ وَكَانَ اللَّـهُ غَفُورًا رَّحِيمًا ﴿٧٣﴾
“sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab[33]: 74)
Tiga bagian tersebut adalah:
- orang yang mengaku menjaga amanah dalam apa yang mereka tampakkan akan tetapi mereka menyembunyikan kemunafikan
- orang-orang yang menyia-nyiakan amanah secara lahir maupun batin, baik ia nampakkan maupun ia sembunyikan. Dan mereka adalah orang-orang musyrik
- orang-orang yang menjaga amanah secara lahir dan batin baik ketika sembunyi maupun ketika kelihatan dan mereka adalah orang-orang yang beriman.
Diantara bentuk amanah adalah menjaga hak-hak hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, menepati janji mereka, dan hal-hal yang lain. Kemudian, panca indra manusia semuanya adalah amanah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah akan bertanya tentang panca indera tersebut pada hari kiamat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَـٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا ﴿٣٦﴾
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua akan ditanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (QS. Al-Isra`[17]: 36)
Harta juga adalah amanah yang akan ditanyakan pada hari kiamat nanti. Anak-anak adalah amanah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّـهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿٢٧﴾ وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّـهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ ﴿٢٨﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan RasulNya dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. An-Anfal[8]: 28)
Yaitu anak-anak adalah ujian dan cobaan, apakah seorang Muslim menunaikan amanah yang dibebankan kepadanya dari harta, dari anak dan selainnya? Maka diantara akhlak yang sempurna dari seorang Muslim yaitu menjaga amanah, memperhatikan dan tidak menyia-nyiakannya sedikitpun.
Menjaga Kesucian
Menjaga kesucian yaitu dengan cara meninggalkan yang diharamkan, menjaga diri dari perbuatan dosa-dosa dan maksiat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّـهُ مِن فَضْلِهِ
“Hendaklah menjaga diri orang-orang yang belum mampu untuk menikah sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan karunia kepadanya.” (QS. An-Nur[24]: 33)
Dan barangsiapa yang belum mampu untuk menikah hendaklah dia menjaga kesuciannya dan menjauhi perbuatan-perbuatan haram dengan niat ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan karena bertakwa kepadaNya. Adapun orang-orang yang tidak mempunyai harta maka hendaklah ia menjaga kesuciannya dan tidak meminta-minta kepada manusia. Dalam hadits disebutkan bahwa:
وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ
“Barangsiapa yang menjaga kesuciannya maka Allah kan mensucikanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Malu
Malu adalah akhlak yang sangat agung dan sifat yang sangat mulia yang hendaknya seseorang berakhlak dengan akhlak ini. Dan apabila seorang berakhlak dengan akhlak ini, akhlak ini akan menghalanginya dari seluruh perbuatan-perbuatan yang buruk dan mengantarnya kepada perbuatan-perbuatan yang baik. Karena sifat malu seluruhnya adalah kebaikan dan tidak akan mendatangkan kecuali kebaikan. Sebaliknya, apabila sifat malu ini hilang dari seseorang, maka kebaikan akan meninggalkannya dan dia tidak akan malu untuk melakukan keburukan apapun.
إنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْت
“Sesungguhnya diantara perkataan nubuwwah yang didapatkan oleh manusia yaitu: Jika engkau tidak malu maka kerjakan apa saja yang engkau inginkan.” (HR. Bukhari)
Dan sifat malu yang paling tinggi kedudukannya yaitu malu kepada Rabbul Alamin (Tuhan semesta alam), pencipta seluruh makhluk. Dan diantara sifat malu yaitu malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, malu ketika kita melakukan apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka setiap waktu seseorang hendaknya merasa malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak melakukan sesuatu yang diharamkan, tidak melakukan perbuatan dosa karena malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Allah Maha Melihat, tidak ada yang luput dari penglihatan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang penyair mengatakan:
إِذا خَلَوتَ الدَهرَ يَوماً فَلا تَقُل. خَلَوتُ وَلَكِن قُل عَلَيَّ رَقيبُ.
“Jika suatu hari engkau sendirian maka janganlah mengatakan aku sedang sendirian. Akan tetapi katakanlah bahwasanya ada yang mengawasiku.”
Diantara bentuk malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah seorang menjaga anggota badannya, menjaga panca inderanya, menjaga perutnya dari memasukkan ke dalam perutnya hal-hal yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam hadits disebutkan:
وَلَكِنَّ الاِسْتِحْيَاءَ مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَتَحْفَظَ الْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَتَتَذَكَّرَ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا
“Sungguhnya malu yang benar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu engkau menjaga kepala dan apa yang ada dalam isi kepala tersebut, menjaga perut dan apa yang ada dalam isi perut tersebut, mengingat kematian dan barangsiapa yang mengharapkan akhirat adalah ia meninggalkan perhiasan dunia.” (HR. Ahmad, Tirmidzi)
Dan juga termasuk malu kepada sesama makhluk yaitu meninggalkan muamalah-muamalah yang buruk, perbuatan-perbuatan yang buruk, akhlak-akhlak yang tercela, karena semua hal tersebut bertentangan dengan sifat malu yang baik.
Berani
Berani dalam tempatnya yang benar adalah kemuliaan dan kesuksesan. Adapun keberanian yang bukan pada tempatnya, itu adalah sifat ngawur dan kehancuran. Dan keberanian seorang Mukmin muncul dari keimanan dan keyakinannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla serta kekuatan tawakkalnya kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala. Dia tidak takut kecuali kepada Allah, tidak meminta kemuliaan kecuali dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berkat Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah bahwa keberanian akan membawa seseorang kepada akhlak-akhlak yang mulia, membuat dia dermawan. Karena keberanian jiwa dan kekuatan hatinya, ia rela meninggalkan apa yang ia cintai dan membuatnya meninggalkan apa yang ia inginkan. Maka kekuatan jiwa dan keberanian seseorang akan membuat dia meninggalkan hal-hal buruk yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Bukanlah orang kuat adalah orang yang kuat dalam bergulat, akan tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Downlod MP3 Ceramah Agama Tentang Pengertian Akhlak, Macam-Macam Akhlak dan Dalil Tentang Akhlak
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/47243-pengertian-akhlak-macam-macam-akhlak-dan-dalil-tentang-akhlak/